Contoh Essay - Meningkatkan Rasa Cinta Terhadap Pertanian
MARBELS
(Mini Farming Training Based On Local Wisdom) – Media Permainan dan
Pembelajaran Untuk Meningkatkan Rasa Cinta Anak Terhadap Dunia Pertanian
Mas Dana
Pendahuluan
Saat anak-anak pertama kali masuk
sekolah dan ditanyakan cita-citanya oleh guru, maka sebagain besar dari mereka
akan mengatakan ingin menjadi guru, polisi, tentara, dokter, pilot dan
sebagainya. Hampir tidak ada anak-anak yang berkata bahwa mereka ingin menjadi
petani. Banyak orang tua yang berprofesi sebagai petani, kemudian menyekolahkan
anak mereka tinggi-tinggi agar tidak bernasib sama seperti dirinya yang hanya
menjadi seorang petani. Petani dianggap sebagai profesi yang tidak menjanjikan
secara materi dan kalah populer dibandingkan profesi yang lainnya. Dengan
segala persepsi tersebut, maka tidak mengherankan jika negara seluas Indonesia
masih banyak mengimpor hasil-hasil pertanian dari negera lain.
Pada masa sekarang, seiring dengan
berjalannya waktu budaya bertani akan semakin memudar. Hal tersebut diakibatkan
oleh generasi muda yang enggan lagi untuk mengelola lahan pertanian. Mereka
beranggapan bahwa dunia pertanian identik dengan kotor, bau, kumuh, miskin, dan
sebuah pekerjaan yang dipandang sebelah mata karena tidak memiliki prospek yang
cerah. Padahal jika generasi muda ingin mengelola lahan pertanian tersebut, maka
Indonesia dapat menjadi negara eksportir dengan hasil pertanian yang
unggul, bahkan Indonesia dapat menjadi sebuah negara yang maju.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data
Sensus Pertanian 2003-2013, dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja pertanian
didominasi oleh tenaga kerja usia tua lebih dari 40 tahun, tenaga kerja usia
muda jumlahnya tidak banyak dan cenderung merosot dibandingkan 10 tahun
sebelumnya. Demikian pula berdasarkan data Sensus Pertanian 1993-2003 komposisi
pekerja sektor pertanian berdasarkan usia telah mengalami pergeseran yang
menunjukkan semakin berkurangnya tenaga kerja muda di sektor pertanian. Data
tersebut menunjukkan bahwa selama dua dekade, secara absolut dan relatif jumlah
petani muda mengalami penurunan yang relatif tajam, sementara yang tergolong
usia tua semakin meningkat.
Selama ini pengenalan dunia pertanian
kepada anak-anak belum banyak dikemas secara menarik dan mengandung nilai-nilai
kreativitas. Padahal, pengenalan di tingkat Sekolah Dasar atau pada usia 6-12
tahun merupakan pendidikan awal atau dasar. Pada saat itu anak mulai mengenal
pendidikan yang sesungguhnya. Pada tahapan tersebut juga mereka mulai mengenal
berbagai macam pengetahuan, cara bersosialisasi, dan bermain. Ketika dari kecil
anak diajarkan untuk menjadi dokter, maka yang tertanam di hati mereka adalah
kelak ingin menjadi seorang dokter. Begitu pun ketika dari kecil mereka
ditanamkan sebuah sikap atau rasa untuk cinta terhadap dunia pertanian, maka
kelak ketika dewasa mereka akan berusaha untuk mengelola dan memajukan
pertanian Indonesia, mereka tidak akan malu dan gengsi lagi dengan profesi
sebagai seorang petani.
Generasi muda di Indonesia saat ini
lebih menyukai hal-hal yang bersifat teknologi dan seni dibandingkan harus
berkotor-kotor turun ke sawah untuk bercocok tanam. Mereka mulai terhipnotis
oleh budaya-budaya asing yang memberikan segala hal yang membuat mereka lebih
dipandang oleh orang lain, tanpa memikirkan dari mana nasi, ayam, ikan, dan
sayur-sayuran yang mereka makan sehari-hari. Mereka selalu berfikir bahwa
bertani hanya sebuah pekerjaan kaum bawah dan tidak terpandang jika dinilai
oleh orang lain. Minimnya pengetahuan tentang pertanian yang diberikan sejak
dini menyebabkan adanya persepsi-persepsi negatif tentang pertanian. Kurangnya
upaya untuk menanamkan rasa cinta terhadap dunia pertanian sejak dini
mengakibatkan banyak generasi muda saat ini yang tidak peduli terhadap
pertanian di Indonesia.
Oleh karena itu, MARBELS (Mini Farming Training Based On Local Wisdom)
dibentuk sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan rasa cinta anak terhadap dunia
pertanian melalui media permainan sekaligus pembelajaran. MARBELS merupakan
media bermain yang edukatif dan kreatif melalui konsep Mini Farming berdasarkan kearifan lokal yang terdapat di
masing-masing daerah untuk meningkatkan minat bertani anak serta menanamkan
rasa cinta anak terhadap dunia pertanian. Hal ini dilakukan agar anak memiliki
jiwa peduli terhadap pertanian sejak dini. Banyak kegiatan yang akan diberikan
untuk membuat anak menjadi suka dan tertarik terhadap pertanian, mulai dari
cara bercocok tanam yang menyenangkan sampai cara membuat konsep Mini Farming yang inovatif. Diharapkan
melalui MARBELS ini anak-anak dapat mengaplikasikan perilaku peduli terhadap
pertanian di dalam kehidupan sehari-hari serta kelak mereka akan berkontribusi
nyata untuk memajukan pertanian di Indonesia.
Isi
Diakui atau tidak, selama ini
pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara
pemuda dengan ladang-ladang pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petani
sulit berjalan sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu
mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian berjalan
di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Hal ini merupakan salah
satu penyebab kondisi pertanian di Indonesia selalu rapuh dan mengalami
penurunan.
Regenerasi petani di daerah-daerah cukup
mengkhawatirkan. Salah satu penyebab regenerasi petani rendah adalah keengganan
pemuda untuk menjadi petani. Pada tahun 2015, Peneliti Pusat Penelitian
Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), YB Widodo mengatakan bahwa sektor pertanian hanya
menyerap tenaga kerja yang mayoritas ibu-ibu. Ibu-ibu tersebut rata-rata berusia
40 tahunan. Mereka menanam bibit dini hari untuk menghindari udara panas atau
waktu-waktu tertentu saat bekerja yang sulit diikuti oleh generasi muda.
Ternyata generasi pemuda pemudi desa tidak bisa mengikuti alur kerja petani
tua. Mereka lebih memilih kerja di toko atau membantu pedagang kecil dari pada
kerja di bidang pertanian yang harus kotor-kotor. Nampaknya semakin kemari
angka penurunan petani muda di desa semakin drastis. Salah satu penyebabnya
ialah bahwa dari kecil anak-anak tidak pernah diajarkan untuk cinta dan peduli
terhadap dunia pertanian. Hal tersebut yang mengakibatkan generasi muda enggan
untuk bekerja di bidang pertanian karena pada saat masih anak-anak saja mereka
tidak pernah menyukai pertanian dan seolah-olah menganggap bahwa pertanian itu
suatu hal yang buruk dan menjijikan.
Sementara itu, ada suatu ironi ketika
bangsa ini dikenal sebagai negara agraris, ternyata tidak berbanding lurus
dengan minat calon mahasiswa pada studi pertanian. Setidaknya, data hasil
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2008 menunjukkan masih
terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi bidang pertanian di 47 perguruan
tinggi negeri. Sementara pada tahun 2009, data dari panitia SNMPTN tren
tersebut terus berlangsung dengan banyaknya bangku kosong di 42 PTN yang
menyebutkan bahwa studi pertanian salah satu yang tidak populer. Sungguh miris
sekali, ketika di negara lain tengah berlomba-lomba untuk mengembangkan bidang
pertanian sebagai “senjata ekonomi” dalam era globalisasi, tetapi di Indonesia
sangat minim yang ingin mengurus dan mengembangkannya. Salah satu penyebabnya
adalah karena kurangnya pengenalan dan penanaman nilai-nilai untuk peduli
terhadap pertanian sejak dini. Peran lembaga pendidikan yang belum mampu melakukan
transformasi dalam pengembangan pertanian menyebabkan anak-anak tidak tertarik
dan berminat untuk terjun di bidang pertanian.
Semakin lunturnya minat generasi muda
terhadap pertanian diantaranya disebabkan oleh citra pertanian (dalam hal ini
petani) yang sering diidentikkan dengan kerja kasar, kotor, dan penghasilan
yang pas-pasan. Petani dianggap bukan profesi yang menjamin finansial di tengah
naiknya harga-harga kebutuhan hidup, terlebih lagi untuk investasi masa depan. Tentu
saja ini merupakan sebuah pemikiran yang sempit. Jika profesi di bidang
pertanian terus ditekuni dan dikerjakan dengan manajemen dan keilmuan yang
mumpuni, maka apabila diukur secara materi mampu menghasilkan pendapatan yang
berlipat-lipat. Walaupun demikian, pekerjaan-pekerjaan di bidang selain
pertanian masih dianggap menawarkan kemakmuran yang lebih besar dengan cara
yang praktis dan bergengsi.
Salah
satu hal yang menyebabkan profesi petani ditinggalkan adalah karena petani di
Indonesia memang di dominasi usia tua. Sangat jarang ditemukan anak muda yang
ingin bergelut menjadi seorang petani. Generasi muda lebih suka berprofesi
menjadi buruh industri otomotif, tekstil, dan sebagainya, karena menggunakan
peralatan-peralatan yang canggih dan modern. Stigma bahwa bertani adalah
pekerjaan yang hanya layak untuk mereka yang tak berpendidikan membuat generasi
muda berada sejauh mungkin dari pertanian. Penderitaan dan gambaran susahnya
kemakmuran yang menghinggapi petani secara umum telah menciptakan pola pikir
dikalangan petani sendiri bahwa anak-anak mereka harus bersekolah hanya untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih terhormat, yakni dengan bekerja di kantoran
dan bukan sebagai seorang petani lagi. Di bawah ini adalah jumlah rumah tangga
usaha pertanian menurut kelompok umur pada tahun 2013.
Tabel
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Kelompok Umur
Tahun
2013
Kelompok
Umur
|
Jumlah
(Satuan Jiwa)
|
< 15
|
1.948
|
15-24
|
182.786
|
25-34
|
2.979.489
|
35-44
|
6.803.387
|
45-54
|
7.361.767
|
55-64
|
5.311.111
|
65 >
|
3.494.981
|
Jumlah
|
26.135.469
|
Sumber
: Badan Pusat Statistik (BPS)
Data sensus pertanian pada tahun 2013
menunjukkan bahwa petani Indonesia mayoritas berumur tua. Pada usia antara
45-54 tahun jumlah petani sangat tinggi yakni mencapai 7.361.767 orang.
Sementara itu, pada usia muda antara 15-24 tahun dan 25-34 tahun jumlah petani
di Indonesia sangat minim dan bahkan berbeda jauh dengan yang berusia tua tadi,
yakni hanya 182.786 orang dan 2.979.489 orang saja. Berdasarkan data tersebut
semakin memperkuat proposisi yang telah terbangun selama ini, bahwa menjadi
petani adalah sesuatu yang tidak diinginkan dalam rencana hidup sebagian besar
generasi muda bangsa Indonesia. Dan lagi, penanaman nilai-nilai seputar
pertanian sejak dini benar-benar harus ditanamkan untuk mengubah segala mindset
dan persepsi negatif tentang pertanian agar kelak ketika anak-anak dewasa,
mereka akan termotivasi untuk menjadi petani sehingga dapat mengelola dan
memajukan pertanian di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, 2003-2013, jumlah rumah tangga
petani berkurang sebanyak 5 juta. Angka ini cukup besar dan memberikan
implikasi bagi keberlanjutan sektor pertanian, sebab model pertanian Indonesia
adalah model pertanian keluarga yang sudah terbukti mampu menjaga produksi dan
keberlangsungan hidup petani. Selain berkurangnya jumlah petani, masalah lain
adalah terkait dengan usia dan produktivitas petani itu sendiri. Struktur umur
petani sudah tua yaitu 60,8% diatas 45 tahun dengan 73,97% sampai hanya tingkat
SD dan kapasitas menerapkan teknologi baru yang rendah. Hal ini yang
menyebabkan produktivitas petani Indonesia jauh lebih rendah bila dibandingkan
negara-negara di ASEAN. Tidak hanya petani yang berumur tua, tenaga pertanian
yaitu PPL (Penyuluh Pertanian Lapang) dan POPT (Pengamat Organisme Pengganggu
Tanaman) juga sudah tua, yaitu 70% di atas 50 tahun. Hal tersebut tentu akan
berpengaruh pada kinerja dan juga bahkan keberlanjutan sistem pertanian
nasional.
Rendahnya kelompok usia muda di sektor
pertanian bukanlah fenomena baru. Sudah sejak lama Indonesia dihadapkan pada
situasi ini dan terus meningkat derajatnya. Ada banyak alasan yang bisa
dijadikan generasi muda enggan untuk kembali ke pertanian. Riset Koalisi Rakyat
untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 yang bertajuk “Regenerasi Petani” mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama bagi
generasi muda yang merasa asing dengan dunia pertanian itu sendiri adalah
karena segala informasi yang mereka dapatkan tentang pertanian pasti diperoleh
secara otodidak. Sebagian besar generasi muda tidak pernah diajarkan tentang
pertanian oleh orang tuanya. Kembali lagi, kurangnya pengenalan dan penanaman
nilai-nilai seputar pertanian sejak dini menyebabkan generasi muda saat ini
enggan untuk memilih terjun atau menggeluti bidang pertanian.
Solusi untuk menumbuhkan minat dan
kemauan serta paradigma berpikir tentang pertanian dapat dimulai dengan
membangun citra pertanian dengan cara menanamkan nilai-nilai pertanian dalam
bentuk permainan sekaligus pembelajaran sejak dini. Paradigma berpikir tentang
pertanian selama ini sedikit banyak telah menurunkan citra pertanian terutama
bagi anak-anak dan pemuda-pemudi. Paradigma berpikir harus diubah bahwa
pertanian bukan sekedar mencangkul di sawah dan menjadi petani tidak selalu identik dengan kemiskinan. Oleh karena itu,
sejak dini perlu ditanamkan pola berpikir pada setiap anak bahwa pertanian itu
menyenangkan dan mengasyikkan. Salah satunya adalah melalui inovasi MARBELS (Mini Farming Training Based On Local Wisdom).
Sementara itu, kekayaan bangsa Indonesia
akan kearifan lokal (tradisional) sudah ada dari nenek moyang masyarakat
Indonesia terdahulu. Hanya implementasinya sudah semakin terdegradasi oleh
perubahan zaman dan pengaruh budaya asing. Seharusnya kearifan lokal ini tidak
hanya dipandang sebagai sebuah mozaik yang indah, tetapi dapat dimanfaatkan
sebagai kekuatan untuk menyelenggarakan pembangunan yang selaras dan harmoni
dengan alam. Kearifan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan,
penuntun, petunjuk atau pedoman hidup untuk bertingkah dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Kearifan lokal di setiap daerah merupakan sebuah stimulus untuk
memperkenalkan sekaligus menerapkan MARBELS agar dapat diterima oleh
masyarakat.
MARBELS merupakan sebuah media permainan
sekaligus pembelajaran untuk meningkatkan rasa cinta anak terhadap dunia
pertanian. Bentuk kegiatannya pun tidak di dalam sekolah, melainkan menyerupai training atau outbound yang berkelanjutan di luar sekolah. Pengenalan dunia
pertanian pada usia dini merupakan salah satu upaya strategis dalam rangka
meningkatkan minat generasi muda untuk terjun dan berkecimpung di bidang
pertanian. Minimnya program pengenalan pertanian kepada anak-anak menjadi salah
satu alasan utama penulis membentuk MARBELS. Bahkan materi yang diberikan di
tingkat sekolah pun tidak ada yang mengarahkan anak-anak untuk menjadi petani.
Hal ini yang membuat banyak generasi muda menjadi tidak kenal dengan pertanian
dan akhirnya mereka enggan untuk mempelajarinya karena proses belajar bertani
yang mombosankan.
MARBELS ini nantinya akan diterapkan di
Sekolah Dasar. Tujuan yang ingin dicapai dari MARBELS ini adalah untuk membantu
memecahkan masalah rendahnya minat para generasi muda terhadap pertanian di
Indonesia, serta menanamkan rasa cinta terhadap dunia pertanian pada anak-anak
yang dikemas dalam sebuah metode permainan yang edukatif dan kreatif
berdasarkan kearifan lokal yang terdapat di masing-masing daerah. Hal ini
dilakukan dengan harapan agar anak-anak termotivasi untuk mengikuti kegiatan
MARBELS, sehingga proses transformasi pengenalan dunia pertanian dapat
tersalurkan dengan baik dan animo anak-anak untuk bertani menjadi meningkat.
Melalui MARBELS anak-anak akan diajarkan
seputar dunia pertanian yang menyenangkan dengan berbagai macam program yang
akan memberikan pengetahuan, keterampilan, dan pendampingan yang selaras dengan
kearifan lokal masyarakat setempat. Harapannya anak-anak akan termotivasi untuk
menjadi seorang petani sehingga kelak dapat mengoptimalkan potensi yang ada di
daerahnya dan turut berpartisipasi aktif dalam upaya memajukan pertanian
Indonesia. Saat ini yang paling penting adalah berupaya untuk menanamkan dan
meyakinkan kepada anak-anak bahwa pertanian itu menyenangkan dan sangat
potensial untuk dikembangkan. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk
mengimplementasikan inovasi MARBELS (Mini
Farming Training Based On Local Wisdom) berbasis kearifan lokal adalah
sebagai berikut.
Langkah Pertama,
sosialisasi. Sosialisasi bertujuan
untuk menumbuhkan kesadaran anak-anak dan masyarakat akan pentingnya regenerasi
petani yang mulai menurun dan potensi bidang pertanian yang sangat baik untuk
dikembangkan. Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk memberikan informasi serta
memperkenalkan MARBELS pada lingkungan Sekolah Dasar melalui pemaparan akan
pentingnya regenerasi petani dan menghilangkan segala persepsi negatif tentang
pertanian yang selama ini berkembang di masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan
melalui sosial media maupun pendekatan secara langsung (mengadakan talkshow di sekolah-sekolah). Sasaran
utama program ini adalah anak-anak Sekolah Dasar yang berusia antara 6-12
tahun. Hal ini dikarenakan pada usia ini anak berada pada fase authority-oriented morality, artinya
percaya sekali pada figura otoritas, yakni guru. Jadi, ketika dari kecil
diberikan penanaman untuk peduli dan cinta pada pertanian, maka kelak dewasa
anak-anak pun akan berupaya untuk selalu peduli dan mengelola pertanian dengan
baik.
Langkah Kedua,
pembentukan pengurus inti dan anggota
program MARBELS. Setelah melakukan sosialisasi untuk menumbuhkan minat
bertani anak-anak, maka tahap selanjutnya adalah pembentukan pengurus inti
MARBELS yang bertugas untuk mengkoordinir dan mengatur, baik di bidang
fungsional, operasional, sampai dengan pengelolaan anggota. Kemudian melakukan
koordinasi dan konsultasi dengan kepala sekolah, guru, dan tak terkecuali dinas
pertanian setempat agar memperoleh dukungan serta bimbingan selama proses
pelaksaannya. Selanjutnya adalah pembentukan anggota MARBELS yang nantinya
berperan sebagai peserta dalam serangkaian program MARBELS. Pembentukan anggota
ini penting untuk dilakukan agar sasaran program dapat lebih terarah dan fokus
pada para anggotanya.
Langkah Ketiga,
pencarian kearifan lokal masyarakat
setempat. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup
dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran
masyarakat serta berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya
berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal berasal
dari masyarakat untuk masyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi,
menyebar, menjadi milik kolektif, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat
setempat. Masyarakat memanfaatkan tata atur kearifan lokal untuk
menegaskan jati diri dan bertahan hidup. Melalui kearifan lokal inilah
diharapkan MARBELS dapat diterima dan diimplementasikan oleh pihak sekolah.
Langkah Keempat,
penyusunan program kerja dan matrikulasi
program. Setelah terbentuk pengurus inti dan anggota MARBELS, maka langkah
selanjutnya adalah menyusun program kerja dan matrikulasi dari program kerja
tersebut. MARBELS dilaksanakan di luar sekolah dan setiap satu bulan sekali.
Program kerja yang akan dilaksanakan berupa kegiatan-kegiatan yang bertujuan
untuk memperkenalkan sekaligus menanamkan rasa cinta terhadap dunia pertanian
pada anak-anak yang dikemas dalam sebuah metode permainan yang edukatif dan
kreatif berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan
tersebut diantaranya mengajarkan cara bercocok tanam yang menyenangkan, merawat
dan memanen hasil tanaman yang mengasyikkan, membuat irigasi kecil yang unik, membuat
olahan dari hasil pertanian, membuat miniatur alat pertanian atau boneka hewan
ternak dari limbah yang ada, serta cara membuat konsep Mini Farming yang
inovatif. Semuanya disajikan dalam bentuk permainan dengan menggabungkan
substansi pertanian yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada.
Langkah
Kelima, pelaksanaan
dan pendampingan. Apabila matrikulasi program telah
tersusun secara terstruktur, maka selanjutnya adalah melaksanakan program yang
telah direncanakan. Pelaksanaan program tidak hanya berhenti setelah kegiatan
selesai dijalankan, namun perlu adanya pendampingan secara berkelanjutan agar
apa yang telah diperoleh anggota tidak hilang begitu saja, namun dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapan program MARBELS ini
diperlukan pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu mengimplementasikan
gagasan yang diajukan oleh penulis. Pihak tersebut dapat berasal dari
pemerintah dalam hal ini dinas pertanian, kalangan civitas akademika perguruan
tinggi, penyuluh pertanian, maupun pihak lain yang memiliki kepedulian terhadap
regenerasi petani dan ingin menanamkan rasa cinta terhadap dunia pertanian
kepada anak-anak.
Langkah Keenam,
evaluasi program. Setelah program
dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah evaluasi. Evaluasi dilakukan
untuk menilai dan mengukur seberapa jauh efektifitas program yang telah
dilaksanakan, sehingga dapat dinilai seberapa besar potensi keberlanjutan
proram tersebut. Evaluasi juga diperlukan untuk menganalisis kelebihan dan
kekurangan selama program dilaksanakan, sehingga apa yang menjadi kekurangan
dapat diperbaiki untuk ke depannya. Manfaat dari evaluasi program dapat berupa
penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan
program.
Penutup
Di era modernisasi saat
ini, sebagian besar masyarakat lebih memilih jenis pekerjaan yang memiliki
prospek cerah bagi dirinya di masa depan. Ada yang bercita-cita ingin menjadi
guru, dokter, polisi, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan petani, sebuah
profesi yang dinilai tidak cukup menjanjikan bagi masyarakat, sehingga sangat
jarang ada orang yang benar-benar ingin menjadi petani. Akibatnya jumlah orang
yang turun ke dunia pertanian semakin berkurang. Salah satu penyebabnya ialah
sejak kecil anak-anak telah tertanam dalam dirinya bahwa pertanian adalah suatu
hal yang buruk sehingga ketika dewasa pandangan buruk tentang pertanian pun
akan selalu terbawa. Kurangnya pengenalan dan penanaman nilai-nilai untuk
peduli dan memiliki rasa cinta pada dunia pertanian sejak dini mengakibatkan
kurangnya minat generasi muda untuk berkecimpung di dunia pertanian.
Oleh karena itu, melalui
inovasi MARBELS (Mini Farming Training
Based On Local Wisdom) berbasis kearifan lokal ini diharapkan dapat
membantu memecahkan masalah rendahnya minat para generasi muda terhadap
pertanian di Indonesia, serta mampu menanamkan rasa cinta anak terhadap dunia
pertanian. Dengan adanya keterpaduan dari berbagai stakeholder, akan
sangat mendukung keberjalanan implementasi inovasi MARBELS, sehingga tujuan
yang ingin dicapai melalui program ini akan dapat teralisasi. Penulis berharap
pemerintah memfasilitasi program MARBELS (Mini
Farming Training Based On Local Wisdom) untuk diterapkan di Indonesia,
sehingga masalah yang berkaitan dengan regenerasi petani pun akan dapat
teratasi. Terbentuknya MARBELS dapat memberikan banyak manfaat bagi anak-anak.
Melalui hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan minat dan ketertarikan
anak-anak untuk terjun di dunia pertanian.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Penyuluhan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP). 2016b. Petunjuk pelaksanaan Diklat ATC (Agri Training Camp) Jakarta : Badan Penyuluhan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian.
Badan Pusat
Statistik (BPS). 2013. Laporan Hasil
Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan Lengkap). Jakarta : BPS.
Hery, Sri
Susilowati. 2016. Fenomena Penuaan Petani
dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda Serta Implikasinya Bagi Kebijakan
Pembangunan Pertanian. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 34 No. 1 Juli 2016 : 35-55.
http://kedaulatanpangan.net/2017/04/indonesia-krisis-regenerasi-petani-muda/
Suhartini. 2009.
Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta : Fakultas MIPA,
Universitas Negeri Yogyakarta
Comments
Post a Comment